voksil.com – Pendidikan ramah dan berkarakter di segala jenjang merupakan suatu keharusan sesuai fungsi pendidikan nasional. Dalam Pasal 3, Bab II, UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, menyebutkan fungsi pendidikan yaitu untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Laksana Tri Handoko mengungkapkan pendidikan karakter bagi mahasiswa di perguruan tinggi memiliki aspek yang luas, termasuk pendidikan anti korupsi, moderasi beragama, budi pekerti, toleransi, wawasan kebangsaan, dan nasionalisme. Lulusan perguruan tinggi tidak hanya berkompeten secara akademis, tapi juga berakhlak dan berbudi pekerti luhur.
“Bertolak belakang dari makna dan urgensi pendidikan karakter tersebut, terdapat dinamika dan fenomena riil dalam dunia pendidikan kita. Hasil survey lingkungan belajar yang dilakukan Kemdikbudristek pada 2021, diprediksi 24,4% peserta didik rentan terhadap perundungan di satuan pendidikan,” ungkapnya.
Kasus-kasus kekerasan ini, lanjut Handoko, seperti fenomena gunung es dan memungkinkan masih banyak kasus yang tidak terungkap ke publik. Lebih buruk lagi, beberapa kasus kekerasan ringan dianggap sebagai hal yang biasa. Lembaga pendidikan, katanya, baik pada institusi pendidikan dasar, menengah maupun tinggi, sejatinya menjadi tempat aman bagi anak didik untuk mendapatkan pengetahuan dan menanamkan karakter baik.
“Ini yang menjadi perhatian dan keprihatinan kita. Bahkan memasuki semester pertama 2022, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada sejumlah kasus kekerasan, berupa perundungan dan kekerasan fisik. Kasus tersebut dilakukan baik oleh pendidik, maupun sesama peserta didik,” jelasnya.
Handoko menyampaikan, beberapa hal tersebut menjadi faktor penghambat dalam membangun pendidikan ramah dan berkarakter menuju Indonesia Emas 2045. “Berbagai pemikiran, contoh terbaik dan solusi dari masalah di dunia pendidikan saat ini, dapat menjadi masukan untuk melahirkan kebijakan strategis, bagi pendidikan yang ramah dan berkarakter menuju Indonesia Emas 2045,” ungkapnya.
Menurut Handoko perguruan tinggi juga harus menciptakan lulusan yang relevan, dan dibutuhkan oleh industri untuk 5 sampai 10 tahun ke depan. Dia berharap, kegiatan rutin Bincang Pembangunan Series ini dapat menjadi media untuk memahami problematika, dari berbagai isu strategis saat ini dan ke depannya. “Semoga Bincang Pembangunan Seri IX kali ini dapat dioptimalkan, untuk mencari solusi yang komprehensif. Dalam merumuskan kebijakan yang tepat terkait isu strategis pendidikan, sebagai bahan masukan bagi para pengambil keputusan atau kebijakan,” tuturnya.
Deputi Kebijakan Pembangunan BRIN Mego Pinandito menjelaskan, melalui Bincang Pembangunan Seri IX ini, pihaknya mengharapkan insight dari para pakar, terkait pembangunan pendidikan ramah dan berkarakter menuju Indonesia Emas 2045. Dengan mengamati serta mengkritisi permasalahan riil yang terjadi di dunia pendidikan, yaitu: intoleransi, terkikisnya rasa nasionalisme, kekerasan di dunia pendidikan, dan sebagainya. “Dinamika yang terjadi saat ini, patut menjadi perhatian bersama untuk dicarikan solusi dan kebijakan yang tepat. Melalui best practices pendidikan ramah dan berkarakter dari para pembicara kita, baik dari lingkungan pemerintah maupun praktisi (civil society),” ungkapnya.
Hasil kegiatan ini, kata Mego, diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan acuan bagi para pengambil kebijakan. Layaknya filosofi pendidikan, untuk mengubah kegelapan menjadi sebuah cahaya. “Kita percaya, bahwa pendidikan mampu mengubah banyak hal menjadi lebih baik. Pendidikan adalah senjata paling ampuh, yang dapat kita gunakan untuk mengubah dunia,” pungkasnya.